Enam belas tahun berlalu layaknya angin malam yang berhembus di kota metropolitan Jakarta. Kota penuh kenangan yang menyisakan sepasang sahabat kecil. Merajut kenangan masa kecil indah di tengah keramaian Jakarta pada masa itu. Namun, tahun berganti tahun. Meninggalkan usia masa kecil menjadi dua remaja dengan kepribadian dewasa masing-masing. Menjadikan seorang Rafarel Abyastha menjadi remaja ideal di mata kaum hawa di sekolahnya. Mengubah Faranisa Aislin menjadi gadis primadona di sekolahnya, belum lagi ia adalah seorang Ketua Osis yang bertanggung jawab.
Senja yang indah menampakkan guratan jingganya di sebelah barat. Si cahaya kuning juga kini sudah mulai terbenam, seolah bersembunyi di antara bangunan pencakar langit di Jakarta. Duduk berhadapan dengan dua cappuccino hangat yang berada di atas meja kayu berwarna putih di ruang tamu. Keduanya adalah Fara dan Rafa. Berada di ruang tamu rumah Fara yang kini tengah sepi. Keduanya diam. Seolah pikiran mereka memikirkan satu sama lain tetapi mulutnya tetap tertutup.
“Lagi ada masalah?” Mungkin pikiran Rafa sudah berhasil mengalahkan gengsinya sendiri. Fara hanya terdiam, matanya tetap memandang dengan tatapan kosong gelas Cappucino yang belum ia sentuh, bahkan ia minum.“Diam berarti iya.” Rafa tersenyum kecil melihat sahabatnya. “Raf, nggak pulang?” Pertanyaan itu seolah terlontar dengan lancar dari mulut Fara.
Rafa mengetahui apa yang Fara inginkan saat ini. Fara hanya ingin sendirian. Tetapi di sisi lain, Fara juga menginginkan sebuah dukungan khusus dari orang terdekatnya. Baiklah, Rafa akhirnya memutuskan untuk pulang setelah berpamitan pada Anggraeni, ibu Fara. Ayah Fara, Fahreza sedang ada tugas di Bogor untuk beberapa proyek yang sudah mem-booking pihak perusahaannya untuk bekerja sama. Sudah, kalau dijelaskan akan berakhir 2 hari kemudian. Rafa pun pulang. Meninggalkan rasa khawatir pada Fara.
Tiga hari yang lalu, Rafa pernah mendengar bahwa Fara sedang dikabarkan dekat dengan Davin yang diketahui adalah seorang kapten futsal di sekolahnya. Bahkan dua hari setelah mendengar kabar tersebut, Fara pernah menolaknya untuk diajak pulang bareng dari sekolah, alasannya klasik. Karena ia akan pergi kerja kelompok dengan Diva, teman sekelasnya. Rafa memakluminya, karena di kelas 11 ini mungkin mereka akan menghadapi berbagai tugas dari pihak sekolah. Tetapi, keesokannya Rafa mendengar bahwa di kelas Fara tidak ada tugas kelompok yang harus dikerjakan. Fara berbohong. Hari itu, pulang sekolah ketika ia menolak Rafa untuk pulang bersama, ia sudah berjanji dengan Davin untuk pergi ke bioskop melihat film keluaran terbaru pada masa itu. Tetapi, Fara tidak mengetahui bahwa Rafa mengetahui hal sebenarnya.
Rafa hanya bisa diam. Ia tidak tahu akan berbuat apa. Rafa tahu, mereka pasti ada hubungan spesial. Dan meskipun ia sahabatnya, orang terdekatnya, bahkan orang sudah mengenal Fara dari kecil harus mengalah ketika ada kata ‘kekasih’ diantara mereka. Hubungan seperti itu adalah suatu yang sudah kita dengar antara dua remaja, bukan?
– – –
“Pulang bareng ya, Far?” Rafa menawarkan, tetapi dari kalimatnya, itu adalah sebuah keharusan. Lapangan basket yang sepi membuat keduanya seperti leluasa berbicara siang itu. “Nggak deh, Raf. Mau rapat OSIS.” Fara menolaknya. Lagi. “Ditunggu.” Rafa mengambil keputusannya secara sepihak
Fara yang mendengar jawaban Rafa hanya bisa mengangguk sebelum tubuhnya benar-benar hilang dari balik tembok yang membatasi antara luar sekolah dan gedung sekolah. Rafa tersenyum melihat Fara melenggang meninggalkannya. Mungkin itulah perilaku yang bisa menggambarkan kata “iya, terserah”. Dengan jawaban dengan perilaku Fara yang seperti itu, Rafa sedikit lega karena Fara tidak menolaknya. Ia mendapat peluang agar ia terus pulang bersama Fara dengan cara memenangkan adu mulutnya agar Fara menyerah dan pasrah.
Kini ia hanya menunggu. Duduk di atas motor CB 250CC dengan ditemani oleh Pak Kumis, satpam, yang menjaga di sekolahnya. Dengan berbincang sedikit kejadian yang terjadi dari tahun ke tahun. Pak Kumis sudah menjadi satpam selama 25 tahun. Perbincangan mereka terhenti sesaat. Rafa memandang jauh ke arah timur, tepatnya di warung yang berada didekat pos satpam. Bersama enam sohib lainnya, Davin tertawa lepas. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi diam-diam Rafa mendengarnya.
“Gimana sama si Fara? Udah berhasil?” Tanya Radit, salah satu dari mereka yang tengah duduk di atas sepeda motornya yang tepat berada di depan Davin.
“Siapa sih yang nggak tertarik dengan cowok seganteng Davin? Ya ga? HAHAHA.” Tawanya itu mengundang keenam sahabatnya untuk ikut tertawa.
“Mm, jangan lupa dengan perjanjian pertama. Jangan sampai beneran suka sama si Fara! Ini Cuma taruhan. Inget lo sama si Sera.” Deva ikut menyahut.
Mendengar kata ‘Taruhan’ dan berhubungan dengan Fara, emosi Rafa memuncak. Ia terus berusaha mengontrol emosinya semampunya. Dan berusaha mendengar apa yang setelah itu mereka bicarakan.
“Dih. Denger. Sera mah paling penting. Sebenarnya nih ya, Fara emang cantik. Tajir pula. Makannya, manfaatin dia sebaik mungkin. Udah banyak sepatu di rumah, dibeliin sama dia.” Davin kembali berbicara. Itu membuat enam sahabatnya itu menatapnya dengan tatapan yang tidak percaya dengan apa yang Davin katakan.
Rafa mengepalkan tangannya. Membuat aliran darah di telapak tangannya menjadi tertekan. Matanya memicing tajam kearah lelaki dengan rambut yang dipotong dengan gaya kekinian. Dengan sigap, Rafa beranjak. Ia berjalan kearah gerombolan itu kemudian menarik kerah seragam Davin dengan kasar. Rahangnya mengeras, giginya bergemelutukan menatap wajah Davin yang sudah ia beri predikat sebagai Setan.
“Weits! Lepasin, norak!” Davin mengelak tarikan Rafa pada kerahnya, tetapi tidak berhasil.
“Ngaca! Norak lo, maksudnya apaan taruhan-taruhan ha?” Rafa membentaknya.
Keenam sahabat Davin hanya diam memandang Rafa dengan heran. Ada dua dari mereka yang hendak menyelamatkan Davin, tetapi Davin mencegahnya.
“Kenapa? Emang, Fara kita jadiin taruhan. Masalah?” Davin menaikkan sebelah alisnya.
Emosi Rafa kembali naik. Ia menarik Davin ke lapangan basket yang sedang kosong. Disitulah adegan pertengkaran dimulai. Beberapa siswa dan siswi yang belum pulang menggerombol dan melingkari arena hitam pertengkaran. Rafa tidak henti-hentinya memukuli pipi, rahang, perut Davin secara bergantian.
“RAFA!” Suara seorang siswi itu menghentikan aksi Rafa.
Itu Fara.
Gadis itu tampak benar-benar marah dengan apa yang ia lihat. Untuk meluapkan emosinya, satu tamparan mulus mendarat di pipi kiri Rafa. Ia benar-benar merasa kecewa dengan apa yang ia lihat.
– – –
Rafa menatap kosong apa saja yang ada di hadapannya sekarang. Setelah sebuah pesan ancaman dari Davin masuk ke ponselnya, ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Davin mengajaknya untuk datang ke Jalan Merbabu untuk balap liar untuk memenangkan taruhan yang Rafa dan Davin buat. Kalau lo kalah, lo harus biarin Fara buat jadi bahan taruhan kita. Kalo gue menang, gue bakal jauhin Fara. Itulah yang Davin katakan.
Rafa tidak mau membiarkan Fara menjadi korban taruhan bodoh yang Davin dan enam kawannya buat. Disisi lain, ia juga tidak mau dianggap remeh dan banci di depan mereka. Sudah pukul 9 malam, Rafa mengambil jaket kulitnya kemudian mengambil kunci motornya. Setelah meminta izin pada ibunya, walaupun dengan paksaan yang cukup lama akhirnya Rafa diperbolehkan dan tanpa membuang waktu, sepeda motornya sudah melaju cukup kencang di Jalam Merpati di kompleknya.
Kalau aku harus lakukan apa yang berbahaya demi Fara, biarkan itu urusanku.
“Eh, Dav! Jagoannya dateng!” Fero yang ada di sana berteriak. Memberi kode semuanya untuk melihat Rafa yang baru saja datang.
“Sadiss! Tunggu apalagi?” Anwar ikut berbicara.
Setelah ber-adu tatapan sinis. Rafa dan Davin mendekat kearah garis ‘start’. Ketika bendera dengan warna catur itu diangkat keatas, keduanya melajukan motornya masing-masing. Rafa dan Davin beradu. Keduanya saling membalap satu sama lain. Arena yang harus dilewati bukan hanya menuju Jalan Sedudo yang ada di belakang Jalan Merbabu, tetapi juga harus melewati Jalan Karawaci yang jaraknya cukup jauh. Keduanya sudah melalui Jalan Karawaci, dan kini menuju Jalan Merbabu kembali. Tetapi, motor Davin lebih awal dari Rafa. Belum sampai garis finish, motornya oleng, motornya menabrak seorang gadis yang berdiri disana. Karena tabrakan itu cukup keras, gadis itu jatuh diantara motor yang terparkir di belakangnya.
Rafa melaju sampai ke garis finish. Tetapi, setelah itu ia berlari menghampiri gerombolan itu untuk mengetahui siapa yang telah ditabrak oleh Davin. Matanya benar-benar panas melihat gadis itu.
FARANISA AISLIN.
– – –
Lampu UGD berwarna hijau diatasnya menyala. Tanda bahwa operasi telah selesai dilakukan. Disana sudah ada Rafa, Diva, Anwar, Fero, Hana, ibu ayah Rafa, begitu juga orang tua Fara. Ayahnya pulang sekitar sore tadi. Dokter yang bertugas mengoperasi Fara keluar. Menemui pasang mata khawatir para teman atau orang yang menunggu Fara.
“Fara sedang kritis. Sekarang kita hanya bisa berdoa.”
Mendengar kalimat itu, ibu Fara menangis menjadi-jadi. Tetapi berhasil tenang setelah suaminya menenangkannya. Begitu juga orang tua Rafa.
“Maksud anda berdoa? Anda ini dokter yang selalu kita harapkan, tapi hanya ini yang bisa anda lakukan?!” Rafa membentak, suaranya parau setelah menangis.
Dokter itu menghela nafasnya sebelum ia berkata bahwa, “ Fara bisa diselamatkan jika ada seseorang yang mau mendonorkan ginjal untuknya. Ginjal adalah organ yang berpengaruh pada hidup Fara saat ini.”
“Berapapun biayanya, kami akan membeli ginjal itu, Dok!” Ayah Fara mulai ikut bicara.
“Sayangnya, ginjal yang ada di rumah sakit ini tidak memadai. Apabila bisa menunggu mungkin akan menunggu selama 5 bulan atau lebih. Tetapi, Fara sudah sangat kritis dan saya bukan Tuhan yang akan menyelamatkannya dengan cara semudah membalikkan telapak tangan.
Wajah kecewa diantara pihak Fara mulai terlihat. Mereka benar-benar sangat menganggap bahwa tidak ada harapan lagi pada kehidupan Fara.
– – –
“Ibu?” Suara parau Fara memecah keheningan ruang kamar Rumah Sakit nomor 5.
Beberapa orang yang ada disana termasuk, Anggraeni ibu Fara, Fahreza ayah Fara, Ibu dan ayah Rafa, begitu juga Diva dan Hana. Anwar dan Fero pulang lebih dulu karena harus mengurus masalah Rafa dan Davin di kantor polisi.
“Faraa!” Anggraeni memeluk anaknya dengan nada yang benar lemas.
“Alhamdulillah.” Yang lain mengucapkannya dengan bersamaan.
. Mereka berbincang dengan Fara yang masih baru sadar pagi itu. Semalam ia menjalani operasi dan pagi ini ia sudah bangun. Fara benar-benar tidak menyangka bahwa ia akan sadar begitu cepat. Mereka juga bercerita pada Fara bahwa ada seseorang yang rela mendonorkan ginjalnya untuk Fara.
“Siapa yang donorin ginjal ke Fara, bu?” Tanya Fara.
Yang ditanya hanya diam. Ia memberikan sepucuk surat dari tas kulit berwarna hitam kemudian ia berikan kepada Fara.
“Faranisa Aislin.
Hai Princessnya Om Fahreza! Apa kabar? Sudah sembuh ya? Hahaha selamat ya. Oh iya, kalo udah bangun jangan lupa cuci muka. Buluk amat tuh muka wkwk. Maafin Rafa ya! Mungkin waktu kamu bangun aku ga ada disana. Dan sampai kapanpun aku ga bakal bisa ketemu kamu lagi☺. Aku harap setelah ini kamu tahu apa maksud aku.Abis ini temuin si Davin. Kamu jangan pukul dia ya! Tetap berteman sama dia, tapi jangan deket-deket nanti aku cemburu. Hehe! Kamu jangan sedih setelah baca ini. Fara, aku ada di kamu sekarang. Ginjal aku tambah bagus ada di kamu nih hehe! – RAFAREL ABYASTHA “
“Apa ini, Bu? Kenapa?” Fara meneteskan air matanya.
Memorinya kembali pada apa yang sudah terjadi pada Fara dan Rafa masa itu. Kini tidak ada lagi lelaki yang bisa mengajaknya ngobrol seharian untuk membahas tukang sayur yang jualan cireng, tidak ada lelaki yang membelikan Fara buku cara menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Bahkan sekarang tidak ada lagi orang yang selalu menjemputnya untuk pergi ke depan kompleks membeli kerupuk berwarna merah muda.
“Terimakasih, Rafa. Terimakasih buat semuanya. Aku yakin, kamu adalah orang yang akan menghuni surga luas yang ditemani oleh banyak bidadari. Makasih buat semua perjuanganmu yang mencoba menyelamatkanku! Pasti aku kangen sama kamu. Hehe!” -IntanRizky
sumber gambar : https://mastondon.files.wordpress.com/2014/04/20140416-045212.jpg